.


glitter-graphics.com
Custom Glitter Text

I made this widget at MyFlashFetish.com.

Senin, 29 Maret 2010

Air mata menjelang Isya

Mata itu... kala aku melihatnya. Kala aku mengingatnya. Wajah itu. Terus melirik ke arah selatan. Entah siapa gerangan yang ia tunggu. Entah apa gerangan yang ia lihat. Yang aku tahu aku menangis. Yang aku tahu semua orang disekelilingnya terus menangis. Yang tak aku mengerti ada apa dengan tangisan itu. Ada apa?
***

Lihatlah kawan gadis kecil yang masih membutuhkan kasih sayang sang Ibu harus terus mengukir ribuan pertanyaan yang terus berkelebat di dalam pikirannya. Sudah sejak Lintang kecil sang Ibu tengah berjuang dengan penyakitnya yaitu lumpuh. Entah kata dokter apa penyakitnya karena di desa mana mungkin di periksakan di dokter. Dengar kata-kata periksa atau dokter saja pikirannya sudah entah kemana. Sekian ribu lah sekian juta lah. Ya setidaknya begitulah pemikiran awam di desa dimana Lintang dibesarkan.
"Uwa kenapa menangis? Nenek kenapa juga ikutan menangis? Mama kenapa? Mama Lintang kenapa? hu,,hu,,,hiskhikshiks," suara Lintang membuat seisi ruangan itu terus menitikan bola kristal bening tanpa ampun. Terus bercucuran membentuk anak sungai di pipi. Lintang terus bertanya hingga suaranya parau. Seharusnya Lintang sudah bisa berpikir apa yang terjadi dengan Ibunya. Tapi Lintang tetaplah anak kecil yang memang memilki kepolosan pertanyaan.
"Ibu, bangun Ibu. Ibu ngomong dong, Lintang jadi takut. Lintang nanti sama siapa Bu?" bagai badai topan pertanyaan itu menluncur tanpa di duga oleh semua kerabat yang tengah berkunjung.
"Ibu huhuhuhikshikshiks, Ibu kenapa? Bangun Ibu,,,"
"Innalillahiwainnailaihi rojiun, jam berapa sekarang? Ayo kita hadapkan ke utara dan tolong ada yang ke masjid mengumumkan berita duka ini," suara Bapak separuh baya mengucapkan kalimat yang membuat Lintang terduduk kaku. Tangisnya meledak bak air mata sungai yang banjir. Terus menangis tersedu. Dalam pikirannya ia berpikir dan terus berkata "ah pasti nanti Ibu bangun lagi. Pasti Lintang yakin". Tapi ternyata Lintang keliru. Takdir berkata lain. Kali ini harapan Lintang harus pupus. Karena satu jam kemudian, keesokan paginya Ibunya tetap tak bergeming tetap diam seribu bahasa membujur kaku ke arah utara. Sementara Uwa dan Kakeknya sibuk mondar-mandir. Lintang begitu saja dilewati. Lintang penasaran ingin bertanya "Kakak mau ngapain, Uwa lagi ngapain kenapa mondar-mandir, Bu Lek kenapa semua sedih ada apa?" tapi seolah  suara itu tercekat di tenggorokan. Lintang seolah tahu sekeras apapun suaranya berteriak bertanya mereka tidak akan menjawabnya karena terlalu sibuk.
Lintang akhirnya pasrah duduk manis di kursi kayu yang ada joknya. Empuk untuk badannya yang mungil. Ia teringat percakapan dengan Ibunya seminggu lalu.
"Lintang mau sekolah?" tanya Ibunya yang duduk manis di tempat tidur tua.
"Iya Ibu, Ibu mau ikut?" ucapnya polos berharap.
"Upss maafin Lintang ya Bu. Lintang lupa Ibu tidak bisa jalan," Ibunya hanya tersenyum getir menahan air mata yang hampir tumpah. Lalu memalingkan muka pura-pura meraih mug besar tempat air minum di samping kirinya. Tangan kirinya meraih mug itu meminumnya. Perlahan punggung tangannya yang terlihat putih akibat tidak terkena sinar matahari mengusap matanya yang hampir tak tahan dengan celotehan lugu anak kecilnya. Ibu yang sangat menyayangi buah hatinya. Lintang adalah anak sulungnya dan mungkin akan menjadi anak tunggal. Suaminya sedang merantau di Ibukota. Mengais rizki dari tangan-tangan orang kaya. Suaminya bekerja sebagai tukang becak.
"Tidak apa-apa sayang. Kamu harus rajin belajar ya. Jaga kesehatan. Kamu jangan sakit. Jangan seperti Ibu. Kamu harus gemuk jangan seperti Ibu yang badannya kurus," Ibunya terus mendoakan tanpa henti.
"Iya Bu. Lintang berangkat ya Bu sama Raya," ucapnya sambil mendekat ke tempat tidur tua itu. Sekilas bau anyir menusuk hidung mungil itu. Tapi Lintang tidak merasa jijik dengan bau itu. Bau badan Ibunya. Pagi ini Ibunya belum mandi mungkin nanti seusai pulang sekolah Lintang akan memandikannya.
"Lintang berangkat Bu, assalamu'alaikum," ucapnya sumringah
"Wa'alaikumsalam Nak," sambil mengusap lembut kepalanya penuh kasih.
Lintang tidak tahu selepas kepergiannya Ibunya menangis tersedu. Terharu sekaligus merasa bersalah karena belum bisa memberikan kebahagiaan indah untuk purinya itu.
Nenek dan Kakeknya sedang sibuk di dapur menyiapkan masakan untuk ke sawah. Untuk para tetangga yang membantu menanam padi. Udara pagi masih segar. Langit nampak cerah. Tak ada tanda-tanda akan hujan. Sama seperti beberapa hari sebelumnya. Tapi terkadang awan di ujung selatan berbeda dengan di desanya. Awan gelap di ujung selatan kadang berdampak buruk. Hujan? Tidak. Tanpa hujan tiba-tiba banjir. Beruntunglah banjir tidak besar. Tapi akan berbeda ceritanya di seminggu yang akan datang.

"Lintangnya mana Nek Idah?" sebuah suara mengagetkan telinga Lintang karena namanya disebut-sebut.
"Ya Allah ya robb, kasihan sekali anak kecil ini. Masih terlalu pagi kau jemput dia, semoga dia tabah dan sabar," Nenek Ipah nenek Lintang dari pihak Bapaknya memeluk erat dan mengguncang-guncangkan badannya seiring dengan tangisannya.
Para tetangga datang membantu. Ada yang membawa beras, mie instant entah apa lagi. Mereka semua baik bertujuan baik. Selain mendoakan arwah sang Ibu  Lintang juga memberikan dukungan agar keluarga yang ditinggalkan tabah dengan cobaan itu.
Lintang terlepas dari pelukan itu. Ikut menangis. Mengelap hidungnya yang basah oleh ingus. Mengelap dengan kaosnya yang sudah tak berwarna. Pudar.

Di ruang tamu terdengar percakapan bapak-bapak dan para pemuda yang hendak bertahlil. Percakapan yang menanyakan kabar Bapaknya di Ibukota. Apakah Bapaknya akan pulang? Entahlah.
***

Keesokan hari.
Mentari tak pernah lelah berbagi sinarnya tanpa pamrih. Dari ujung timur menuju barat. Perlahan namun pasti. Hari ini tidak secerah kemarin. Mendung. Tapi tak hujan.
Jenazah Ibu satu anak itu dimandikan. Saudara-saudara perempuan membantu memandikan. Hingga bersih sesuai syariat Islam.
Pukul 09.30 jenazah itu dimakamkan. Lintang masih terus bertanya "Kapan Ibu bangun kembali. Mengapa Ibu hanya diam saja waktu di selimuti putih-putih tipis emang enggak dingin?".
Ya,,,
Dipagi itu Lintang tetap tertegun dengan pemandangan yang aneh tapi nyata itu. Perlahan ia menyadari bahwa Ibunya tak akan pernah bangun lagi. Tak pernah menatapnya lagi kala berangkat sekolah. Kala bercanda bersama di tempat tidur rapuh itu. Makan sepiring berdua berebut tempe goreng. Berebut sayur daun singkong. Berebut tahu goreng. Beradu dengan sendok milik Ibunya. Tidak akan lagi. Tak akan!. Tiba-tiba saat jenazah itu dihadapkan ke kiblat. Perlahan arak-arakan awan hitam menggumpal. Tidak hujan. Tidak tapi terasa teduh. Tak panas. Dan air mata itu kembali tumpah. Kantung mata mungil itu tak kuasa menahan air mata yang terus mendesak keluar.
"Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuu Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu," Lintang menangisi jenazah Ibunya saat tepat dihadapkan ke kiblat. Saat ribuan malaikat turun ke bumi. Saat papan kayu pertama di gunakan untuk menutup jenazah itu di atas tanah. Tangisan itu lebih syahdu dari lagu sedih manapun. Air mata itu lebih besar dari banjir bandang yang sering terjadi di sungai depan rumahnya. Air mata itu mengantarkan jenazah Ibu terkasihnya menuju surga. Surga Mu ya Allah.
Seusai pemakaman itu Uwanya datang terlambat. Dari ibukota. Dari tempat Bapaknya merantau pula. Tapi mana Bapaknya? Lintang tidak tahu alasan Bapaknya tak pulang. Semua orang tak tahu mengapa sang suami tak pulang kala istrinya tutup usia. Kala istrinya pergi untuk selama-lamanya. Kala Lintang menjerit histeris namun tak ada Bapaknya di sampingnya yang mampu menyejukan sesak di dadanya.

Sesaat setelah semua orang kembali ke rumah masing-masing. Kala semua baju kotor di bersihkan setelah pemakaman. Hujan lebat tumpah menemani tangisan Lintang yang masih terurai. Meski tangisan itu sesaat terhenti kala suara petir bersahut-sahutan.

Sekarang Lintang sendiri. Ia tak tahu kapankah Bapaknya pulang dari kota.
Lintang sendiri. Sunyi. Rindu pada Ibu. Tiap malam Lintang rindu pada Ibunya.
***

Kini hari-hari Lintang berbeda. Tidak ada aktifitas berat lagi. Sejujurnya bukan aktifitas berat melainkan aktifitas bakti terhadap Ibunya. Ya, berbakti. Tulus dan ikhlas. Dan Allah sangat menyayangi Lintang dan juga Ibunya sehingga Allah lebih memilih mengambilnya untuk kembali kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...